Subjek Pajak adalah
pihak-pihak yang dikenai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak dan
kewajiban perpajakannya. Dapat meliputi orang pribadi maupun badan
(perusahaan).
Subjek Pajak Dalam Negeri
Istilah Subjek Pajak
dalam negeri akan sering ditemukan dalam konteks PPh. Subjek pajak dalam
negeri meliputi orang pribadi (individu) maupun badan. Pengertian ‘badan’
dalam UU KUP adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak, yang meliputi PT, CV,
perseroan lainnya, BUMN/D dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (BUT/permanent
establishment).
Orang pribadi (individu) yang disebut sebagai
subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang: (1) bertempat tinggal di
Indonesia, atau (2) berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan; atau (3) yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan berniat
untuk bertempat tinggal di Indonesia. Manakala orang pribadi meninggal
dunia dan meninggalkan warisan, maka sebelum warisan itu terbagi, kedudukan
subjek pajak si almarhum digantikan oleh warisan yang belum terbagi
tersebut. Itulah sebabnya, warisan yang belum terbagi juga dikategorikan
sebagai subjek pajak dalam negeri menggantikan yang berhak (menggantikan si
almarhum).
Sementara badan yang tergolong subjek pajak
badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi keempat
kriteria berikut ini tidak termasuk dalam pengertian subjek pajak badan dalam
negeri:
1.
Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan
2.
Pembiayaannya bersumber dari APBN/D;
3.
Penerimaanya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah (pusat maupun
daerah); dan
4.
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Subjek Pajak Luar Negeri
ISTILAH subjek pajak luar negeri juga akan
lebih sering ditemukan dalam pembahasan PPh. Dan sama seperti subjek
pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri juga terdiri dari orang pribadi
(individu) dan badan. Subjek pajak orang pribadi luar negeri adalah orang
pribadi yang:
1.
tidak bertempat tinggal di Indonesia; dan
2.
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan.
Sedangkan badan yang termasuk kelompok subjek
pajak badan luar negeri adalah badan yang tidak didirikan di Indonesia dan tidak berkedudukan di
Indonesia.
Subjek pajak luar negeri (baik orang pribadi
maupun badan) dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara: (1)
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bisnis melalui BUT (permanent
establishment); atau (2) tidak melalui BUT (biasanya penghasilan yang
bersifat pasive income seperti bunga, dividen, royalti maupun
sewa).
Jika subjek pajak luar negeri memperoleh
penghasilan dengan cara pertama, maka BUT dari subjek pajak luar negeri
tersebut tergolong subjek pajak luar negeri. Namun dalam perlakuan
pajaknya, BUT dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri dan memiliki
kewajiban pajak yang sama dengan subjek pajak dalam negeri (kewajiban NPWP, SPT
dan lain sebagainya).
Kewajiban
Pajak Subjektif
Pajak Penghasilan adalah jenis pajak subjektif di mana
pengenaan pajaknya lebih melihat subjeknya dulu daripada objeknya. Coba kita
tengok Pasal 1 UU Pajak Penghasilan, yang menyatakan bahwa “Pajak
Penghasilan dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak”. Penekanannya yang pertama adalah subyek
pajak, baru kemudian obyeknya yaitu penghasilan. Urutan pasal-pasal dalam UU
Pajak Penghasilan juga menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan adalah pajak
subjektif. Ketentuan mengenai subyek pajak diatur lebih dulu di Pasal 2, 2A dan
Pasal 3. Baru kemudian diatur mengenai objeknya di Pasal 4.
Sehubungan dengan subyek pajak ini, dalam Pajak Penghasilan
dikenal istilah Kewajiban Pajak Subjektif. Istilah ini mengandung arti
bahwa seseorang, sesuatu atau badan sudah memenuhi syarat untuk dikenakan Pajak
Penghasilan dilihat dari sudut subyeknya. Apabila subyek pajak ini menerima
atau memperoleh penghasilan, maka ia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Tetapi
sebaliknya, apabila sesuatu, seseorang atau badan tidak memenuhi syarat
kewajiban pajak subjektif, maka walaupun ia memiliki penghasilan, ia tidak
dapat dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan UU Pajak Penghasilan.Jadi,
kewajiban pajak subjektif ini sangat penting maknanya dalam Pajak Penghasilan
karena merupakan entry point dalam pengenaan Pajak Penghasilan. Dengan
demikian, kapan seseorang, sesuatu atau badan mulai memenuhi syarat kewajiban
pajak subjektif adalah sangat penting dalam Pajak Penghasilan. Begitu juga
dengan berakhirnya kewajiban pajak subjektif.
Mulai dan Akhir Kewajiban Pajak Subjektif
Undang-undang
Pajak Penghasilan memberikan tempat di Pasal 2A yang khusus mengatur kapan
mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. Selengkapnya, saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut :
Untuk
subjek pajak orang pribadi dalam negeri :
Dimulai: pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau
berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Berakhir:
pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya.
Untuk
subjek pajak badan dalam negeri :
Dimulai:
pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Berakhir:
pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
Untuk
subjek pajak luar negeri berupa BUT :
Dimulai: pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh.
Berakhir: pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
Untuk
subjek pajak luar negeri non BUT :
Dimulai: pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Berakhir:
pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
Kewajiban Pajak Subjektif dan PTKP
Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan secara periodik setiap
tahun. Jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan ini dinamakan tahun pajak
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 UU PPh. Tahun pajak ini pada umumnya
adalah tahun takwim mulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Jika
kewajiban pajak subjektif bermula atau berakhir di pertengahan akhir pajak,
maka pengenaan pajak ini tidak utuh dalam satu tahun pajak tetapi dalam bagian
tahun pajak. Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, pengenaan Pajak Penghasilan
dalam bagian tahun pajak ini tidak menimbulkan masalah dalam perhitungan
pajaknya. Namun tidak demikian dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
karena ada unsur Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Hak untuk mendapatkan PTKP dikaitkan dengan kewajiban pajak
subjektif. Jika seseorang kewajiban pajak subjektifnya meliputi satu tahun
penuh, maka PTKP nya pun satu tahun penuh. Apabila, kewajiban pajak
subjektifnya misalnya cuma dua bulan, maka ia berhak atas PTKP dua bulan. Dari
konsep ini lahir istilah PPh terutang disetahunkan dalam perhitungan PPh
Pasal 21 dalam kasus orang luar negeri yang baru berada di Indonesia pada
pertengahan tahun atau orang yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya pada
pertengahan tahun. Begitu juga dalam kasus orang yang meninggal dunia.
Objek
Pajak Penghasilan
Objek
pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yng diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari indonesia
maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Tidak Termasuk Objek
Pajak
1.
Bantuan atau sumbangan
2.
Warisan
3.
Deviden atau bagian
laba
4.
Iuran yang diterima atu
diperoleh dana pensiun
5.
Beasiswa
Tidak termasuk Subjek
Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah :
a.
Badan perwakilan negara
asing
b.
Penjabat-penjabat
perwakilan diplomatik
c.
Organisasi-organisasi
internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan
d.
Penjabat-penjbat
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Yang Menjadi Objek
Pajak bentuk usaha tetap adalah :
a. Penghasilan dari usaha
atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai
b.
Penghasilan kantor
pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberiaan jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh bentuk usaha
tetap di Indonesia
c. Penghasilan sebagaimana
tersebt dalam psal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat.
8 komentar:
kerennnn
thanks sangt membantu
thanks ya sudah berbagi pengetahuan tentang objek pajak
Terima kasih,ijin nyimak
trimakasih infonya...
izin copas artikelnya... sukses selalu...
yang nyanyi/ cover, animal- maroon five. Fales banget suaranya
terima kasih pencerahannya, ada 1 hal yg mau saya tanyakan terkait status saya yg subjek pajak luar negeri di singapore.
apakah ada dasar hukumnya untuk cuplikan artikel Anda:
"Untuk subjek pajak luar negeri non BUT :
Dimulai: pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Berakhir: pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. "
Terima kasih banyak jika Anda mau membalas comment saya ke sammy_radcliffe@yahoo.com
Apa yang dimaksud dengan nama dan dalam bentuk apapun min?
Posting Komentar